“I know there is strength in the differences between us. I know there is comfort, where we overlap.”
― Ani DiFranco
"Rasisme"
Gua inget, pertama kali gua mendengar kata yg satu ini adalah sewaktu pelajaran sejarah di kelas 1 SMA. Reaksi pertama gua adalah..."Baleg lah (yg bener aja), masa ada orang yg mikirnya setolol itu? Mengkotak-kotakkan manusia berdasarkan ras, agama, dan warna kulit?"
Kenapa gua bisa berpikir sepolos itu? Biar gua jelasin...
Dari TK sampai lulus SMA, gua sekolah di sekolah swasta Katolik. Tapi meskipun sekolah gua adalah sekolah Katolik, isi muridnya beraneka ragam. Kulit putih, kulit hitam, orang Sunda, Jawa, Ambon, Batak, Tionghoa, Manado, Medan, semua ada. Agamanya pun bermacam-macam, mayoritas memang Katolik, tapi ga sedikit juga yg beragama Islam, Kristen, Buddha, cuma memang yg beragama Hindu jumlahnya paling sedikit.
Hidup di lingkungan yg begitu plural dan beragam, dari kecil gua udah terbiasa sama yg namanya PERBEDAAN, tapi kita tidak memandang PERBEDAAN tersebut sebagai hal yg mengganggu, melainkan sebagai suatu hal yg indah. Misalnya, pada saat teman Muslim sedang berpuasa, kita-kita selalu menghormati dia dengan cara ga makan di depan dia. Kalopun pada saat sedang makan/minum dan ada teman yg lagi puasa lewat di dekat kita, kita otomatis bakal bilang "Punten (permisi) ya..." Semua itu sih udah insting, sejak SD pun udah jadi suatu kebiasaan, ga perlu diajarin lagi. TOLERANSI itu udah jadi gaya hidup, bukan hanya sekedar teori di pelajaran PPKN.
Kalo ada teman yg sedang merayakan hari raya agamanya, kita akan langsung nyelamatin dia. Hey, selamat Natal ya! Gongxi Facai! Minal Aidin ya! Selamat Hari Raya Waisak! Malah gua inget, waktu kelas 5 SD, waktu Lebaran kita rame-rame maen ke rumah temen kita yg beragama Muslim. Karena waktu itu belum jaman parcel-parcelan, kita bawa buah-buahan, biskuit, sirup, dll...dan sampe di rumah temen kita itu, kita ditraktir makan ketupat dan opor ayam. Pertama kali seumur hidup makan ketupat tuh, jadi sampe sekarang gua masih inget dengan jelas.
Dan waktu Imlek, sobat non-Tionghoa gua yg keluarganya adalah campuran Katolik-Muslim, maen ke rumah gua dan waktu itu mama gua kasih dia Angpao. Saking senengnya, sampe pas mama papanya jemput dia, dia keluar rumah sambil jerit-jerit. "Ayah, Bunda, aku dikasih Angpao! Aku DAPET ANGPAO!" Hahahaha... Buat dia, amplop merah bergambar karikatur Barongsai itu adalah sebuah harta yg berharga, melebihi isinya.
Semuanya begitu natural, begitu indah, no hard feeling. Ga kayak yg terjadi di masyarakat kita jaman sekarang, masalah ngucapin selamat aja jadi perdebatan nasional. Setiap menjelang Natal, Imlek, atau Valentine, jalanan penuh sama orang yg demo. Ga boleh ngucapin selamat Natal, ga boleh ikut ngerayain Imlek, Valentine haram najis ijis cuih! Jaman gua sekolah dulu, gua ga pernah denger yg kayak gitu.
Dalam berteman pun kita ga pilih-pilih. Mau dia item atau putih, Tionghoa atau Pribumi, orang Jawa atau orang Ambon, Katolik ataupun Muslim, SEMUANYA adalah teman. Ga ada diskriminasi atau perbedaan perlakuan yg didasari oleh perbedaan SARA. Ya kalo antar teman saling berantem sih itu lumrah ya, namanya juga anak remaja, emosinya masih labil. In the end, kita semua adalah satu keluarga di bawah logo bunga Lily putih yg menjadi lambang sekolah gua itu...sampai hari ini.
Karya gua waktu jaman kuliah dulu hehehe |
Karena itulah bisa dibilang, menjelang masa kuliah dulu, gua tuh termasuk masih termasuk seseorang yg sangat polos, sangat naif, dan bener-bener clueless terhadap realita yg ada di masyarakat. Pada tahun 2006, gua masuk ke sebuah PTN ternama di kota gua. Gua bangga banget bisa kuliah di situ, dan semenjak hari pertama gua menginjakkan kaki di situ, gua udah bercita-cita bahwa gua akan bikin masa kuliah ini jadi jadi masa yg paling menyenangkan di dalam hidup gua.
Temen-temen sejurusan gua di sana isinya dari beragam suku bangsa, semuanya baik dan juga menyenangkan. Temen pertama gua di kampus adalah seorang Muslim luar pulau dan gua seneng banget ngobrol sama dia. Gua seneng kenal sama orang baru dan gua seneng bisa mendengar cerita tentang kehidupan dari sudut pandang yg berbeda. Gua excited, gua yg dari TK sampai SMA sekolah di sekolah yg sama, untuk pertama kalinya gua keluar dari zona aman gua. Pertama kali ngerasain yg namanya "terjun ke masyarakat" dan ternyata tidak semenakutkan seperti yg orang-orang sering bilang.
Tapi sayangnya, ternyata gua salah.
"YANG CINA SEMUA BERDIRI!" itu teriakan salah seorang senior yg memimpin ospek jurusan kita waktu itu. Sebenernya yg namanya osjur itu udah dilarang oleh kampus, tapi waktu itu atas nama solidaritas terhadap jurusan, gua memilih untuk tetap ikut. Teriakan tadi menggema di hati gua lebih keras daripada di kuping gua. Beberapa orang yg kulitnya putih dan matanya sipit, dengan enggan dan canggung, pun berdiri.
Sekilas gua teringat akan kata yg sempat gua pelajari di pelajaran sejarah waktu SMA dulu... "Rasisme" Gua ga nyangka bahwa malam itu gua akan mengalami sendiri. Sementara gua masih bingung antara harus berdiri atau tetap duduk, senior tadi menghampiri salah seorang "Cina" yg tadi berdiri paling pertama.
"Apa lo sipit? NANTANG? Lu ngerasa diri bos di sini?" kata senior tadi.
"Gue ga suka lo manggil-manggil gue Cina!" kata "Si Sipit" itu.
Si senior emosi dan langsung menarik kerah Si Sipit, Si Sipit berontak dan pergumulan pun hampir terjadi. Untung saja, senior-senior lain segera datang dan melerai mereka berdua. Kemudian segalanya blur. Gua ga inget apa yg terjadi setelah itu. Kepala gua terasa pusing, efek lapar karena ga sempat makan malam ditambah shock atas kejadian yg baru saja terjadi membuat gua mual. Mual. Muak. Jijik.
Oh jadi begini ya rasanya didiskriminasi? Untuk pertama kalinya seumur hidup, gua ngerasa jijik sama diri gua. Gua ngerasa kayak seekor domba di tengah kerumunan burung gagak yg pantatnya baru dikasih cap pake besi panas. Sakit...malu...dan gua bener-bener pengen secepetnya pergi dari situ. Malam itu, untuk pertama kalinya gua menyadari bahwa gua ini adalah "kaum minoritas" di Indonesia. Malam itu, untuk pertama kalinya gua mengerti kekhawatiran nyokap gua setiap kali gua minta izin untuk jalan-jalan keluar rumah sendirian.
Malam itu, kepolosan gua hilang, dicabik oleh kejamnya realita.
Dan semenjak itu segalanya berubah, seolah-olah gua mendadak melihat dunia dari kacamata yg berbeda. Oh, gua Tionghoa, dia Jawa, dia Manado. Gua Katolik, dia Muslim, dia Buddha. Mendadak orang-orang di sekeliling gua mempunyai "label" di kepalanya.
Hari itu gua baru menyadari bahwa kita di Indonesia hidup terkotak-kotak sesuai label, seperti barang di supermarket, ada label nama, deskripsi, dan juga harga. Jeruk Bali ditaruhnya di kotak A bersama Jeruk Bali lainnya, sementara para Jeruk Limau tempatnya di kotak B. Jeruk purut sih harganya rendah, taruh saja di pojokan...oh ya jeruk Sunkist yg harganya mahal harus ditaruh di kotak paling atas, supaya paling eye catching.
Haruskah kita hidup seperti itu? Terkotak-kotak oleh ras, agama, gender, warna kulit, dan bahasa? Perbedaan itu tidak bisa dihindari, tidak bisa ditiadakan, tapi kenapa harus dibenci? Kalian lihat aja deh berita-berita yg bertebaran di social media kita...
Jeruk Lemon untuk bahan minuman, Jeruk Nipis meskipun asam dan kecut tapi aromanya cocok untuk masak dan juga mencuci, jeruk Mandarin gampang dikupas jadi cocok untuk makanan pencuci mulut. Bayangin kalo di supermarket hanya ada satu jenis jeruk...makan jeruk Sunkist, minum juga jeruk Sunkist, nyuci juga dengan jeruk Sunkist. Betapa membosankan! Tapi dengan ada aneka pilihan, bukankah hidup ini jadi lebih menarik?
Bukankah buket bunga yg indah adalah yg terdiri dari aneka ragam bunga dan warna?
Kisah di atas hanyalah satu dari sekian banyak contoh diskriminasi SARA yg masih terjadi di Indonesia sampai hari ini. Gua juga menulis cerita ini hanya sebagai bahan instrospeksi bagi kita semua, bukan untuk menjelek-jelekan pihak atau instansi tertentu.
Gua harap akan datang harinya di mana kita, ga cuma rakyat Indonesia, melainkan seluruh umat manusia di dunia, bisa saling menghargai perbedaan dan saling bertoleransi, seperti yg gua alami selama bersekolah di SMA bunga lily putih. Lebih mudah mencintai daripada membenci, lebih mudah bertoleransi daripada berkonfrontasi.
Kita semua SAMA, sama-sama BERBEDA.
“In a world filled with hate, we must still dare to hope. In a world filled with anger, we must still dare to comfort. In a world filled with despair, we must still dare to dream. And in a world filled with distrust, we must still dare to believe.” ~ Michael Jackson ~
Komentar
Posting Komentar