Langsung ke konten utama

Harga Sebuah Impian


Figure out what your purpose is in life, what you really and truly want to do with your time and your life; then be willing to sacrifice everything and then some to achieve it. If you are not willing to make the sacrifice, then keep searching. 

Dari kecil, gua udah punya cita-cita pengen sekolah ke luar negeri. Awalnya karena waktu TK gua sering baca buku Goosebumps karya RL Stine dan kemudian gua memutuskan pengen sekolah ke luar negeri, ke Amrik tepatnya, supaya bisa ngerasain yg namanya empat musim, dan juga ikutan Trick or Treat sewaktu Halloween. Asik kan, bisa nakut-nakutin orang pake kostum serem dan juga dapetin banyak permen + coklat.

Motivasi gua pengen sekolah ke luar negeri tersebut berubah sewaktu gua SD. Waktu itu, gua bertekad pengen sekolah ke Australia, demi mengejar cinta pertama gua yg pindah ke sana. Waktu SMP, gua berubah haluan pengen sekolah ke New Zealand, juga demi mengejar mantan pacar gua yg pindah ke sana. Waktu SMA, gua lagi-lagi berubah haluan, pengen kuliah jurusan Game Design ke Jepang...kemudian akhirnya ganti pilihan jadi ke Malaysia, karena biaya ke Jepang terlalu mahal.

Orang tua gua pun mendukung keinginan gua tersebut. Semenjak gua kecil, ortu gua udah janji, kalo gua sekolahnya rajin, nanti pas kuliah mereka akan kirim gua ke luar negeri. Janji itulah yg di alam bawah sadar gua selalu membuat gua termotivasi untuk giat belajar di sekolah. Gua tau kalo keluarga gua bukan kaya-kaya amat, makanya waktu tahun 2003, gua ada kesempatan untuk ikut Jambore Internasional ke Thailand, gua memilih ga ikutan, karena gua pikir, ya mending ditabung aja uangnya untuk kuliah nanti.

Yg membuat gua sangat excited untuk kuliah ke luar negeri pada saat gua SMA itu, bukan demi mengejar cinta, bukan demi Halloween, tapi karena gua pengen merasakan bagaimana rasanya hidup bebas dan berdikari. Mau bangun jam berapa, mau tidur jam berapa, bebas. Mau makan apa hari ini, bebas, atur sendiri, ga usah tergantung sama "rantangan". Bisa ketemu sama banyak orang dari mancanegara dan belajar bahasa serta budaya mereka. Darah gua bergejolak setiap kali memikirkan hal ini.

Tapi pada akhirnya, gua dihadapi sama kenyataan pahit bahwa pada akhirnya orang tua gua hanya mampu ngebiayain gua kuliah di Bandung.


Anyone can give up, it’s the easiest thing to do. But to hold yourself together when everyone would expect you to fall apart; that is true strength

Kuliah gua di Bandung juga ternyata tidak begitu lancar. Karena satu dan lain hal, pada tahun kedua gua kuliah, gua harus pindah universitas. Dan di universitas yg baru ini, gua terhanyut sama kehidupan gua yg baru sebagai seorang designer grafis. Ngerjain tugas sampe larut malem, kongkow sama temen, ikutan lomba design, bikin proyek ambisius, dll. Impian gua untuk sekolah ke luar negeri pun sekonyong-konyong mulai terlupakan.

Di akhir masa kuliah, gua kembali ditampar oleh yg namanya realita. Situasi keluarga gua saat itu jauh dari harmonis, ditambah lagi idealisme yg udah gua bangun selama jadi mahasiswa diporak-porandakan saat gua magang dan merasakan kerasnya dunia kerja. Saat itu, gua ngerasa bahwa udah bukan saatnya gua bermimpi. Sekarang gua harus realistis. Lulus kuliah, cari kerjaan yg menghasilkan, kemudian nikah, membina keluarga, menafkahi papa mama. Impian gua untuk jadi game designer, kuliah ke luar negeri, mungkin hanya bisa jadi kenangan manis.

Saat itulah, yg namanya keajaiban terjadi di hidup gua. Gua pergi ke China untuk pertama kalinya di tengah tahun 2011, dan sejak saat itulah, segalanya berubah.

Badan gua pulang ke Indonesia tapi hati gua tertinggal jauh di seberang lautan. Gua pun menjalani tahun terakhir gua di kuliah dengan semangat baru. Di sela kesibukan gua ngerjain skripsi + Tugas Akhir, gua pun giat belajar bahasa, apply beasiswa ke sana sini, aktif di aneka ragam forum expat. Gua kasih diri gua sendiri deadline : kalo usia 27 tahun gua belum nemu jalan untuk kuliah S2 di luar negeri, gua bakal give up. Tapi akhirnya, tahun 2012, di saat gua baru lulus S1 dan berulang tahun ke-25, gua berhasil mewujudkan impian gua untuk kuliah ke luar negeri.

Awalnya beasiswa gua hanya untuk satu tahun belajar bahasa aja, tapi sambil belajar bahasa di Shijiazhuang, gua juga aktif apply ke sana-sini. Dan untungnya, berkat kerja keras gua dan juga kebaikan hati orang-orang yg membantu gua, gua pun berhasil dapetin beasiswa S2 selama 3 tahun di Guilin, kota tempat gua tinggal sekarang. Memang gua bukan kuliah di kota-kota besar super keren ala Beijing, Shanghai, Wuhan, tapi gua puas dan bersyukur atas kesempatan yg gua miliki ini.

Selama kuliah di China, gua ketemu banyak orang dari mancanegara : Peru, Moldovia, Ukraina, Russia, Nepal, Korea, Poland, Yordania, Thailand, Vietnam, Brazil, Madagascar, Mongol, Italia, Mexico, dll. Tapi lucunya, meskipun berasal dari berbagai negara, kita semua adalah orang-orang yg "sejenis". Kita semua adalah orang-orang yg tau betapa sulitnya untuk bisa mendapatkan kesempatan ke luar negeri dan bahwa impian kita sekolah ke luar negeri itu pun harus kita bayar dengan harga yg "mahal"

Sekolah ke luar negeri itu berarti meninggalkan kehidupan kita yg lama. Meninggalkan keluarga, teman-teman, kampung halaman serta comfort zone kita. Dan itu bukan selalu merupakan hal yg menyenangkan. Selama gua di luar negeri misalnya, ada beberapa orang temen gua yg nikah dan gua ga bisa datang menghadiri resepsi kita. Temen-temen SMA dan kuliah gua sering reunian bareng dan gua ga bisa ikutan, hanya bisa sirik melihat foto foto seru mereka di Facebook. Anjing gua tambah besar, tambah pinter, dan gua tidak bisa ikut menyaksikan pertumbuhan mereka.

Setiap kali gua pulang ke Bandung, gua juga menemukan bahwa tangan mama papa gua makin keriput, jalan dan mengerjakan sesuatu lebih lamban dari biasanya, lebih cepet cape karena kondisi tubuhnya udah ga prima, dan kadang hal ini suka bikin gua guilty feeling sendiri. Berapa tahun lagi waktu yg gua miliki untuk bisa bersama mereka? Gua ga tahu. Suatu hari gua akan berpisah dengan mereka, hidup dan mati itu di luar kemampuan gua. Tapi yg gua tahu adalah...gua mampu bikin mereka bangga, dan itu lah yg akan gua lakukan.

As men grow old enough to look back on their lives, any pain they have does not come from the things at which they failed, but the things they never tried.

Gua juga kenal banyak orang yg demi sekolah ke luar negeri, harus mengorbankan kebahagiaan mereka di tanah airnya. Yup, contohnya adalah kisah Rosa, sahabat baik gua dari Peru. Dia dan cowonya udah pacaran selama 7 tahun, dan waktu dia dapet kesempatan untuk sekolah ke luar negeri, cowonya ngedukung dan dengan sabar nungguin dia. Setengah tahun kemudian, sepulang dari China, Rosa berubah. Dia menemukan passion dalam hidupnya, yaitu bertualang ke seluruh dunia. Dia pengen jadi pramugari, fotografer, penulis, keliling dunia, nulis buku, jadi peneliti, sementara cowonya pengen nikah, membangun keluarga, buka toko, dll. Ketidakcocokan prioritas inilah yg akhirnya membuat mereka mengakhiri hubungan mereka yg saat itu umurnya sudah hampir 8 tahun.

Apakah pilihan Rosa salah? Buat orang awam yg ga pernah ngerasain sekolah di luar negeri mungkin akan berpikir demikian. Cowonya udah terbukti sayang dan setia ma dia selama bertahun-tahun, kok dia tega melepaskan jaminan hidup bahagia dia demi sebuah impian yg belum pasti bisa terwujud? Hanya kita-kita yg berada di posisi Rosa lah, yg pernah banting tulang jungkir balik telen manis pahit darah dan air mata demi meraih impian, yg bisa mengerti "HARGA"nya sebuah impian. The brave may not live forever, but the cautious don't live at all.

Sering banget ada orang yg nanya-nanya ke gua soal beasiswa ke China, jumlahnya mungkin udah puluhan, dan pada awalnya gua pernah turun tangan langsung untuk bantuin beberapa dari mereka apply dan nyiapin segala macam dokumen yg dibutuhkan. Tapi tau ga, pada akhirnya hanya SEGELINTIR dari mereka aja yg bener-bener niat serius sampai bisa sampai ke seberang lautan. Bukan karena ga dapet beasiswa, bukan, sebagian besar "mundur" di tengah jalan karena ragu, takut, atau mendadak dapet pacar. Yup, seriusan, gua pernah bantuin satu orang daftar sampe hanya tinggal kurang tanda tangan doank, dan tiba-tiba orangnya mundur karena BARU JADIAN! Kesel banget gua, udah bolak-balik ke kantor bantu dia ngurusin surat rekomendasi dll, ujung-ujungnya dilepas begitu saja. Jadi ya, mulai sekarang gua udah ga akan bantuin orang apply-apply lagi ke China. Kalo memang niat, harus mau berusaha, URUS SENDIRI!

Cari pacar juga bukan hal yg mudah setelah lu merasakan kehidupan di luar negeri. Tidak mudah untuk menemukan orang yg sepikiran sama lu, yg rela ikut lu pindah dari satu negara ke negara lain, yg bisa mentolerir jalan pikiran lu yg mungkin udah gak konvensional lagi. Mereka tuh ikan di laut, sementara lu tuh burung di udara, selamanya ga akan bisa bersatu. Dan sementara kita terus mencari, umur kita juga terus bertambah. Gua kenal banyak banget cewe umur 30-40an yg masih single dan masih sibuk mengejar impian mereka di China dan sama sekali tidak memikirkan untuk berkeluarga. Well, mungkin sebenernya mereka pengen, tapi situasinya sudah tidak memungkinkan lagi.

Tapi bukan berarti sekolah ke luar negeri, mengejar impian, itu adalah jaminan bahwa lu bakal jadi perawan tua, bukan. Sepanjang perjalanan lu mengejar impian, lu akan menemukan banyak orang yg seprinsip ma lu. Sama-sama punya impian, dan sama-sama tau harganya sebuah impian. Mereka-mereka itulah orang yg cocok untuk jadi pendamping lu, karena mereka adalah orang-orang yg bisa menghargai impian lu. Beda negara, budaya, maupun bahasa, itu bukan masalah, karena yg paling penting adalah kesamaan pandangan terhadap hidup.

Gua, semenjak lulus SMA, ga pernah berhasil dapet pacar. Ga peduli seberapa kerasnya gua berusaha dan seberapa positif reaksi cewenya, ujung-ujungnya gua tetep JOMBLO. Masalah agama lah, keluarga lah, penyakit lah, dan lain sebagainya. Gua sampe bener-bener desperate waktu itu. Kenapa ya nasib gua tragis gini? Seolah-olah Tuhan mau berkata bahwa...jodoh gua tuh ga ada di Indonesia. Dan bener, setelah gua pergi ke luar negeri, hoki gua seolah-olah berubah 180 derajat. Dalam setahun gua ngerasain bagaimana rasanya pacaran sama orang China, Russia, dan pada akhirnya gua menemukan soulmate yg selama ini gua cari dalam diri seorang cewe dari Thailand.

Ga pernah sama sekali terlintas dalam otak gua kalo gua bakal pacaran sama orang Thailand. Tapi lucunya, meskipun ada kendala bahasa, tapi gua ngerasa cocok banget sama pacar gua yg sekarang. Sama-sama suka belajar bahasa, sama-sama suka traveling, sama-sama punya impian ingin melihat dunia luar. Kalo traveling bareng dia, gua ga repot sendirian ngurusin ini itu karena dia bisa inisiatif sendiri bantuin gua. Gaya traveling kita berdua juga cocok : hemat di akomodasi dan transportasi, ga suka belanja oleh-oleh atau souvenir, tapi boleh royal sedikit dalam hal kuliner. Dia juga bukan tipe cewe yg buru-buru pengen dikawinin karena dia punya setumpuk impian yg ingin dia kejar sebelum berumah tangga. Gua bener bener ada feeling kalo dia tuh THE ONE buat gua, well, semoga aja, we'll see...


Every great dream begins with a dreamer. Always remember, you have within you the strength, the patience, and the passion to reach for the stars to change the world. As soon as you start to pursue a dream, your life wakes up and everything has meaning.

Kawan, impian itu sekilas mungkin terlihat mirip dengan CANDU : sekali kita tahu bagaimana rasanya, seumur hidup kita akan terus ketagihan. Tapi kata gua itu tidak begitu tepat. Mengutip kalimatnya Leonardo Da Vinci : "Once you have tasted flight you will walk the earth with your eyes turned skywards, for there you have been and there you will long to return." Intinya, sekali kita udah merasakan bagaimana rasanya meraih impian, selamanya mindset kita bakal berubah. Kita tahu bahwa meraih impian itu bukanlah hal yg mustahil, dan karena itu kita ga akan bisa menjalani kehidupan yg biasa-biasa saja. Bukan karena kita butuh, seperti candu, tapi karena kita tahu kita MAMPU untuk melakukan lebih dari ini. Seorang anak yg telah mampu berjalan, tidak akan terus-terusan merangkak lagi.

Kita cuma hidup satu kali. Mau hidup yg biasa-biasa saja atau mau hidup yg luar biasa, pilihan itu ada di tangan kita masing-masing. It is never too late to be what you might have been. Tidak pernah ada kata terlambat untuk berubah, untuk mengejar impianmu. Memang yg namanya meraih impian itu tidak mudah, dan tentu semakin tinggi impian kita, "harga" yg harus dibayar juga semakin mahal. But how does one become a butterfly? You must want to fly so much that you are willing to give up being a caterpillar. Kita tidak akan mendapatkan apapun hanya dengan diam di tempat. Hanya mereka-mereka yg berani keluar dari zona aman mereka lah, yg bisa merasakan betapa luasnya dunia ini.


The only thing that stands between a man and what he really wants from life is often merely the will to try it and the faith to believe that it is possible. The future belongs to those who believe in the beauty of their dreams.

Oya, jangan lupa ikutan giveaway "Lomba Selfie" Emotional Flutter ya! Hadiah nya TONGKAT NARSIS dari China lho! Buruan ikutan! Syaratnya gampang, hadiahnya bukan barang murahan! =)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

5 Kuliner Khas Tiongkok Yang Wajib Kamu Coba

Kalo denger kata "Chinese Food" , makanan apa sih yang terlintas di otak kalian? Pasti ga jauh-jauh dari Cap Cay, Dim Sum, Bubur Pitan, Ayam Kuluyuk, Nasi Campur, atau Ambokue. Iya kan? Dari kecil gua hobi banget makan Chinese Food, maklum, dari kecil lidah gua memang udah dimanjakan oleh masakan-masakan ala Chinese super enak buatan kakek-nenek dari keluarga bokap dan nyokap. Makanya, waktu gua berangkat kuliah S2 ke China tahun 2012 silam, soal makanan adalah hal yang paling tidak gua khawatirkan. Ah, toh gua keturunan Tionghoa ini, tiap hari harus makan Chinese Food pun gak masalah. Siapa takut? Tapi ternyata gua salah. Ternyata Chinese Food di daratan China BERBEDA JAUH dengan Chinese Food di Indonesia. Seriusan, terlepas dari perbedaan jenis daging yang dipakai (di sini kebanyakan memang pake daging babi), gua menemukan bahwa di China ini jarang banget ada masakan Chinese seperti yang biasa kita temukan di Indonesia. Jangankan Dim Sum, masakan rumah kayak Cap Cay, Ayam

How To Survive in Harbin

Berhubung di post yg sebelumnya banyak yg komen soal ketertarikan mereka untuk pergi ke Harbin dan bagaimana cara survive di sana, makanya di post kali ini, sebelum gua lanjutin cerita tentang petualangan gua di Harbin, gua mau cerita dulu tentang bagaimana persiapan gua untuk pergi ke Harbin dan hal2 apa saja yg harus diperhatikan di saat kita akan pergi ke tempat yg temperaturenya jauh di bawah nol seperti Harbin. Semoga tips2 ini berguna bagi temen2 yg berminat untuk pergi ke Harbin, Kutub Utara, Siberia, atau tempat2 super dingin lainnya di dunia, hehehe. Kapan waktu yg baik untuk pergi ke Harbin? Ice and Snow Festival di Harbin tiap tahunnya dimulai pada awal bulan Januari dan berlangsung selama sekitar satu bulan, dan pada umumnya berakhir sebelum Spring Festival / Chinese New Year yg jatuh sekitar awal bulan Februari. Jadi, bulan Januari, adalah saat yg paling tepat untuk pergi ke sana. Tapi inget, bulan Januari adalah bulan PALING DINGIN di Russia dan China Utara. Banyak orang

Kopdar Manis Bareng Safira Nys

Minggu lalu, waktu reunian sama temen sekampus, pernah ada satu orang yg nanya ke gua "Ven, lu ngeblog teh rasanya udah lama ya?" "Iya, dari tahun 2010, berarti ga kerasa udah 7 tahun nih gua serius ngeblog" "Kok lu bisa tahan sih? Emang apa serunya ngeblog?" Jawaban dari pertanyaan dia itu ga cukup gua jawab pake satu atau dua kalimat saja. Kalo mau dibahas secara mendetail, mungkin bisa dijadiin tesis setebal 100 halaman bolak balik dan berisi 60.000 kata. Ngeblog itu BANYAK BANGET manfaatnya kalo buat gua. Memang, sampe sekarang gua masih belum bisa punya penghasilan dari ngeblog, tapi ngeblog ngasih gua banyak manfaat yg ga bisa dinilai pake uang. Salah satunya manfaat utama yg mau gua bahas di postingan kali ini adalah...ngeblog ngasih gua kesempatan untuk kenalan dengan banyak orang-orang hebat. Salah satunya adalah...Syifa Safira Shofatunnisa (semoga gua kaga salah nulis namanya) aka Safira Nys , atau biasa gua panggil "Nisa" Gua pertama k