Lanjutan dari Part 2
29 Juli 2013
Entah berapa lama gua tidak sadarkan diri. Bisa dibilang, seumur hidup gua, ini baru kedua kalinya gua ngalamin yg namanya pingsan atau tidak sadarkan diri. Begitu siuman hal pertama yg gua rasakan adalah rasa sakit yg luar biasa di bagian selangkangan, seolah olah selama operasi dokter baru saja mencabik segumpal daging dari sana untuk dibikin bakso cincang...
"EIGHT! EIGHT!" teriak gua dengan suara parau.
Ngapain gua teriak teriak kayak gitu? Jadi begini ceritanya...
Beberapa saat sebelum masuk ruang operasi, ada seorang suster cowo yg bilang gini sama gua :
"Setelah kamu terbangun dari biusan operasi nanti, kalo ngerasa sakit, kamu harus kasih tau tim perawat kira kira segimana sakitnya supaya kita bisa kasih pain killer sesuai dosis yg dibutuhkan. Pake angka 1 sampe 10. Angka 1 kalo ga sakit, angka 10 kalo sakit banget. Oke?"
Jadi itulah yg gua lakukan. Begitu tersadar dari pingsan, hal pertama yg gua rasakan adalah rasa sakit di seluruh tubuh gua, terutama di bagian selangkangan. Dan secara refleks, gua langsung terpikir untuk meneriakkan angka delapan, dalam bahasa Inggris.
"EIGHTTT!!! EIGHTTTT!!!!" walaupun mungkin karena suara gua sangat parau saat itu, yg terdengar oleh para suster mungkin adalah "EIII...EIIIII"
Para suster melihat ke arah gua dengan bingung. Gua tersadar bahwa mereka ga mengerti maksud gua. Kemudian, entah ide cemerlang dari mana, atau mungkin efek anestesi yg membuat otak gua rada error, gua pun kembali meneriakkan angka delapan, kali dalam bahasa Mandarin.
"PAAAA...PAAAAAAA!!!!!" (Dalam bahasa Mandarin, angka delapan "Ba" dilafalkan dengan bunyi mirip "Pa" dalam bahasa Indonesia)
"I think he's hallucinating. He's calling his Dad" (Sepertinya dia berhalusinasi, dia manggil-manggil bokapnya) kata seorang suster cowo di samping gua.
Sial, kesel banget gua. Andaikan badan gua rasanya ga kayak baru dilindes buldoser kayak gini, gua pasti udah loncat dan kasih tendangan "Rider Kick" ke wajah suster cowo yg barusan.
Tapi di tengah rasa sakit dan amarah yg melanda otak gua hari itu, tiba tiba terlintas di kepala gua bahwa orang Singapore kebanyakan juga ngerti Bahasa Melayu, mungkin ada bagusnya kalo gua teriak teriak...
"DELAPAN! DELAPAN!"
Walaupun, ya sekali lagi, karena tenggorokan gua kering dan sakit saat itu, ada kemungkinan teriakan gua terdengar seperti "Delman! Delman!"
Teriakan gua yg kali ini berhasil menarik perhatian para suster.
"I think he's trying to say something" (kayaknya dia berushaa ngomong sesuatu) kata si suster cowo.
"I think he's in pain" (kayaknya dia kesakitan) kata si suster cewe.
YES, akhirnya mereka ngerti juga maksud gua.
"ONE TWO THREE FOUR FIVE SIX SEVEN EIGHT...EIGHT...EIGHT!!!!" teriak gua kali ini.
Beberapa lama kemudian, si Suster ngasih gua delapan butir Panadol. Gua sempet bingung ngeliatin mereka. Gua kesakitan, ngapain dikasih Panadol? Disuruh mati overdosis, gitu? Tapi kemudian gua ngerti. Ohhh, iya ya, Panadol kan sebenernya painkiller.
Dan bener, setelah gua minum kedelapan butir Panadol tersebut, rasa sakitnya berangsur hilang dan gua pun kembali tidak sadarkan diri.
Sayup sayup gua denger suara nyokap gua dan kemudian gua pun tersadar di atas ranjang rumah sakit. Di samping gua, ada mama dan juga adik gua. Mereka bilang ke gua bahwa operasi gua berlangsung sekitar 1,5 jam, tapi setelah operasi, gua diem di emergency room selama 2,5 jam karena kondisi gua dianggap belum stabil.
Hal yg pertama gua lakukan, dengan konyolnya, adalah meraba selangkangan gua. Meskipun bagian bawahnya diperban, tapi gua harus memastikan bahwa dokter ga salah potong. (Serius, waktu itu gua beneran takut kalo dokternya salah potong. Maklum, masih perjaka, hehe.) Oke, sang phoenix dan dua buah telurnya masih ada. Gua sedikit lega.
Hal kedua yg gua rasakan adalah leher gua sakit banget, agak lecet malah kelihatannya, katanya sih gara gara selama dibius tadi, leher gua dimasukin selang untuk alat bantu pernafasan. Kaki kanan gua juga sakit banget, seperti habis kram. Dan gua ga bisa duduk atau berbaring secara normal karena dari selangkangan sampai pantat gua diperban. Gua harus duduk bersandar ke ranjang rumah sakit (ranjang bisa diberdiriin) sambil ngangkang. Yup, ngangkang, seperti ibu hamil di film film yg lagi sibuk ngeden sambil jerit jerit karena kepala bayinya udah nongol sebagian. Cuma bedanya, gua ga pake jerit jerit, badan lemes banget kayak ga ada tenaga dan semua tenaga yg tersisa udah gua habisin di emergency room tadi buat teriak teriak angka delapan dalam tiga bahasa.
Sebenernya mama gua pengen nemenin gua di rumah sakit semaleman, tapi karena di rumah sakit ini mereka tidak menyediakan sofa ataupun ranjang untuk penunggu pasien, akhirnya setelah dibujukin mati matian sama gua dan adik gua, akhirnya mama gua pun meninggalkan gua, dengan berat hati. Gua pikir, ah buat apa mama nungguin di rumah sakit, toh gua yakin gua bakal dikasih obat dan tidur pulas semalaman.
Tapi ternyata gua salah, karena malam itu ternyata akan menjadi salah satu malam terpanjang di dalam hidup gua...
(To be continued...)
Komentar
Posting Komentar